Rabu, 18 April 2012 | By: Ramdhan Wijaya Pamungkas

PERS DAN DEMOKRASI



Sejarah pers Indonesia
Sejarah juga mencatat bahwa surat kabar tidak hanya berfungsi sebagai pemberi dan penyebar informasi tetapi juga lebih kompleks dari itu, misalnya untuk melakukan pengawasan terhadap perkembangan lingkungan. Dari sinilah konotasi politik mulai melekat pada surat kabar. Di Eropa misalnya, perkembangan surat kabar paralel dengan perkembangan politik terutama kebebasan politik. (Oetama, 1987:78). Demikian pula di Indonesia, menurut Edward C. Smith, asal dan motivasi perkembangan pers di Indonesia juga tidak terlepas dari perkembangan politik (1983:59-86). Hal itu terlihat dari sejarah perkembangan surat kabar di Indonesia yang selalu menyebut kaitan antara pergerakan politik mencapai kemerdekaan dengan penerbitan surat kabar.
Diawali dengan datangnya VOC yang menyadari manfaat pers untuk mencetak aturan hukum yang termuat dalam maklumat resmi pemerintah. Pengenalan mesin cetak itu juga diprakarsai oleh para misionaris Gereja Protestan Belanda untuk mencetak literatur  Kristen.
Akhirnya dibelilah sebuah mesin cetak th 1624. tapi tidak ada yang tenaga untuk menjalankannya maka mesin itu menganggur hingga 1659 ada seorang Belanda bernama Kornelis Pijl memproduksi sebuah Tijtboek, sejenis almanak atau buku waktu. Kemudian kegiatan mencetak mulai ramai, seperti untuk mencetak Perjanjian Bongaya 1668, kamus Latin-Belanda-Melayu (Andreas Lambertus Loderus) 1699. 
Percetakan masa itu dilakukan oleh swasta, sehingga Pemerintah Belanda merasa perlu memiliki percetakan sendiri yang  didirikan th 1718. namun hingga 1720 kemudian belum mencetak suratkabar. Sebelum surat kabar tercetak pertama muncul laporan berkala para saudagar – Memorie der Nouvelles- ditulis dengan tangan dan beredar di kalangan pegawai VOC. Suratkabar pertama lahir dari Percetakan Benteng, Batavia Nouvelles,  muncul pada 8 Agustus 1744. berukuran folio, masing2 halamannya berisi 2 kolom. Selain berisi meklumat pemerintah juga berisi iklan lelang. Karena iklan lelang itu takut mengganggu monopoli VOC maka Batavia Nouvelles ditutup setelah terbit setiap senin selama 2 tahun.
Suratkabar kedua baru terbit 30 th kemudian pada 1776, lahir Vendu  Nieuws  yang sebenarnya hanya media iklan mingguan. Masyarakat setempat dikenal sebagai “soerat lelang” berisi aklumat pernjualan perkebunan dan iklan perdagangan.  Iklan mingguan ini berakhir pada tahun 1809 pada masa Daendels.  Di masa kekuasaan VOC hanya diterbitkan dua buah suratkabar itu, yaitu Batavia Nouvelles  dan  Vendu  Nieuws.


Munculnya koran berbahasa Belanda
Ditandai dengan munculnya percetakan swasta maka muncul juga suratkabar yang diusahakan juga oleh pihak swasta. Pada 1825 muncul Bataviaasch Advertentieblad,  dan pada 1829 juga muncul Nederlandsch Indisch HandelsbladI. Keduanya berorientasi komersil dan diterbitkan di Batavia.  Di Surabaya juga muncul Soerabayasche Courant  pada 1837. Sementara di semarang terbit mingguan media pengiklan dengan nama Samarangsch Advertentieblad ,pada tahun 1845 dan  pada 1846 terbit suratkabar baru Samarangsche Courant.  Tercatat semua koran yang terbit sebelum tahun 1855 menggunakan bahsa Belanda. Hal ini disebabkan tingginya tingkat buta huruf di kalangan penduduk pribumi. Sehingga sulit dibayangkan andai ada koran yang terbit dengan menggunakan bahasa pribumi.

Perintisan pers Indonesia
Surat kabar berbahasa daerah
Sejarah pers berbahasa daerah di Indonesia dimulai ketika terbit mingguan berbahasa Jawa,  Bromartani, pada 25 januari 1855. dipimpin oleh C>F Winter Sr. dan putranya Gustaaf Winter. Terbit di Surakarta setiap kamis. Pada tahun itu muncul juga terbitanlainnya yang bernama Poespitamantjawarna. Diterbitkan oleh Gustaaf Winter. Terbit setiap dua bulan dengan ketebalan 100 halaman. Angka ini kemungkinan salah cetak dan lebih mungkin hanya 10 halaman karena sulitnya mencari kontributor penulis pada masa itu. Poespitamantjawarna. Memuat dalam edisi perdana dua halaman pertama berisi cerita2 pendek, halam tiga editorial dan tujuh halaman berikutnya adlah awal cerita “Harun Alrasyid Pada Masa Sekarang” Seperti Bromartani , Poespitamantjawarna. Termasuk penerbitan idealistis yang menjadikan dorongan belajar bagi pribumi Indonesia.

Surat kabar berbahasa Melayu
Pada tahun kedua Bromartani terbit lahir suratkabar pertama berbahasa Melayu  dengan nama Soerat Kabar Bahasa Melaijoe terbit pada 5 Januari 1856. dijanjikan terbit setiap Sabtu. Namun setelah penerbitan ke 13 suratkabar ini mati.
Ada juga penerbitan berkala atau jurnal, dengan nama Bintang Oetara terbit pada 5 Pebruari1856. disebut bukan suratkabar karena berisi tulisan2 sastra, permainan catur, teka-teki, kuis, cerita bergambar, fabel dan artikel tentang tempat2 Amsterdam, Istanbul, Perancis, Rusia dan Tiongkok. Dengan harga langganan 14 gulden pertahun dianggap terlalu tinggi pada masa itu sehingga akhirnya jurnal ini berhenti pada pertengahan 1857.
Setahun kemudian pada 3 April 1858, terbit Soerat Chabar Betawi. Terbit setiap sabtu dan berisi berita2 beragam peistiwa di sekitar Batavia, pengumuman2 pemerintah, jadwal kedatangan kapal dan berita2 keuangan. Bertujuan menyebarkan berita kepada penduduk Batavia, Jawa dan luar Jawa. Harga langganan lebih mahal yaitu 16 gulden pertahun sehingga gagal menjaring para pelanggan potensial. Karena tidak menguntungkan dari segi bisnis akhirnya koran ini harus berhenti terbit pada tahun 1858. Periode 1855 higga 1860 menandai fase pertama sejarah pers di Indonesia.
Sejarah mencatat, pada tahun 1920-an, yaitu masa kebangkitan semangat nasionalisme, hampir semua partai politik atau pergerakan lainnya menerbitkan surat kabar mereka sendiri. Tidak heran bila banyak pengamat surat kabar Indonesia menyebut surat kabar Indonesia lahir dalam kancah perjuangan politik. Sehingga tidak terlalu berlebihan kiranya bila ada orang yang berpendapat bahwa sejak mulai berkembang, surat kabar Indonesia sarat dengan nilai-nilai politik. Tujuan penerbitan waktu itu bukanlah finansial melainkan untuk perjuangan.
Memasuki dekade 1970-an, surat kabar Indonesia memasuki era perkembangan yang baru, dimana aspek bisnis menjadi aspek yang berimbang dengan aspek idiil (redaksi) pers. Dengan begitu, aspek politik dari surat kabar Indonesia sudah berangsur hilang.
Seperti telah dikemukakan di awal tulisan, pers dalam arti sempit meliputi semua bentuk media massa cetak, tidak hanya surat kabar namun juga majalah.
Adapun perkembangan majalah di Indonesia dimulai pada akhir abad ke-19, dimana pada waktu itu muncul sebuah penerbitan pers dalam bentuk majalah yang berdasar atas suatu program politik yang ditujukan kepada pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda yang dinamakan “BONDSBLAD” terbit sejak 1897, dipelopori oleh perkumpulan kaum Indo-Belanda.
Berdirinya Boedi Oetomo pada awal abad 20 telah menimbulkan kesadaran baru, sehingga bermunculan majalah-majalah baru seperti “Retno Doemilah” dalam bahasa melayu-jawa dan “Soeara Goeroe” pada tahun 1904. Tiga tahun kemudian di Bandung terbit majalah ‘Medan Prijaji’ dan ‘Soeloeh Keadilan’ yang dipimpin oleh RM Tirtoadisoerjo. Perkembangan majalah-majalah perjuangan semacam itu terus berkembang sampai proklamasi kemerdekaan dikumandangkan.
Sejak dekade 1970-an, perkembangan majalah menjadi semakin unik dan canggih. Majalah-majalah umum mulai tergusur dan sebagai gantinya muncul majalah-majalah yang bersifat lebih spesifik yang menyoroti segmen-segmen tertentu.

Reformasi
Sebelum reformasi kebebasan dibatasi. Pembatasan itu salah satunya adalah ketentuan Undang-Undang Pers No. 11 tahun 1966. surat kabar atau majalah hanya boleh diterbitkan jika sudh memperoleh surat terbit dari Pemerintah, Departemen Penerangan. Karena itu selama 30 tahun menjelang persitiwa mei 1998 di Indonesia hanya terdapat 289 SIUPP – Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers.
Perubahan Mei 1998 membawa atribut besar yaitu Reformasi. Reformasi yang dituntut menuju ke iklim demokrasi. Di sisi lain, demokrasi membawa syarat dan perangkat yaitu kebebasan Pers. Maka semenjak itu kebebasan pers menjadi salah satu konsekuensi logis, dan pangkal tolaknya adlah dicabutnya ketentuan izin terbit. Meski sampaisekarang ketentuan itu belum dicabut, namun dalam palaksanaannya disesuaikan dengan kebebasan Pers. Artinya izin terbit mduah diperoleh dan terbuka bagi masyarakat. Belum setahun usia reformasi kala itu, izin terbit baru mencapai jumlah 582, dua kali lebih dari 289 yagn diterbitkan dalam 30 tahun.
Azas kebebasan pers yang universal tidakmengenal :
·   Izin terbit
·   Sensor preventif
·   Pembredelan
Seperti kita ketahui bahwa pers adalah public servant. Kenyataan ini melahirkan konsekuensi yang sangat berat, yakni pers harus mampu menjaga dirinya agar bisa tetap hidup dan menjalankan peranannya.
       Dalam menjalankan peranannya untuk mempertahankan kehidupannya pers senantiasa harus melakukan kontrol internal, misalnya melakukan kontrol berdasarkan cita-cita institusional media,dsb. Selain itu mau tidak mau pers juga harus memperhatikan kontrol eksternal yang biasanya dilakukan oleh  lembaga pemerintah. Misalnya konggres, departemen kehakiman, dll. di Amerika Serikat, serta BAKORSTANAS , BAKIN, SETNEG di Indonesia.
       Kontrol eksternal tadi dilakukan dengan berbagai cara, meskipun demikian pers  harus senantiasa memperhatikan dinamika masyarakat yang menuntut agar pers mengaktualisasikan peranannya.
       Kontrol eksternal tadi pada dasarnya merupakan pengurangan kebebasan pers. Sunwoo Nam pernah mencatat tindakan-tindakan negara berkembang yang bisa dipandang mengurangi derajat kebebasan pers, yakni: Tekanan legal: (1) Constitusional Proviisons, misalnya konstitusi Brazil: (2) Security Laws, misalnya: hukum komunis Korea; (3) Press Laws, misalnya: hukum pers di Indonesia; (4) Penal Laws, misalnya: penghinaan pengadilan.
       Tekanan ekonomi dan politik: (1) pemberian subsidi; (2) kontrol terhadap materi  informasi; (3) kontrol terhadap utang di Bank.
       Tekanan langsung: (1) budaya telepon; (2) memberikan sertifikat kepada wartawan yang dianggap “baik”; (3) menginterogasi dan menahan wartawan yang dianggap “berdosa”; (4) meneror wartawan yang sedang mencari berita eksklusif (Nam, 1983;324).

Di Indonesia ada dua momentum penting yang berkaitan dengan  kebebasan Pers. Terbitnya ketentuan undang-Undang pers No. 11 tahun 1966 mensyaratkan adanya SIUPP yang membawa dampak dikendalikannya kebebasan Pers oleh pihak Penguasa. Perlu disadari bahwa tahun 1965/1966 pada saat itu kondisi politik Indonesia tengah dalam keadaan cukup genting. Maka kondisi saat itu menuntut adanya pelaksanaan strong and effective government, suatu Pemerintahan yang kuat dan efektif untuk melaksanakan pembangunan. Utamanya adalah pembangunan ekonomi. Selain pengaruh dalam negeri dan regional, atmosfir global saat itu juga masih dalam suasana perang dingin yang diakibatkan oleh adanya dua kubu, antikomunisme dan komunisme.
Momentum kedua adalah peristiwa Mei 1998 yang dikenal dengan perubahan Reformasi menuntut agenda yang berbeda. Meski kondisi global masih kuat pengaruhya, namun dalam negeri sendiri menuntut adanya perubahan besar menuju iklim demokrasi yang lebih luas. Asosiasi perubahan waktu itu bukan lagi menuju Pemerintahan yang kuat dan efektif, namun menuju pemerintahan yang demokratis.
Masing-masing tentu memiliki sisi-sisi positip dan negatifnya. Pada masa ’66 Pemerintahan menjadi efektif dan kuat, namun sisi negatifnya bagi rakyat adalah adanya tekanan, pemasungan terhadap kedaulatan rakyat dan azas hukum tidak berjalan. Kondisi ini sifatnya akumulatif menindas hak-hak asasi dan kemanusiaan selama bertahun-tahun Kekuasaan Pemerintah kala itu.  
Namun kebebasan Pers yang baru ketika reformasi digulirkan  itu, juga  menimbulkan eforia kebebasan Pers yang membuat banyak penerbitan Pers baru memilih sensasi daripada meningkatkan kualitas. Meski demikian Pers memiliki daya instrospeksi yang kuat untuk terus menerus memperbaiki diri.

Agenda Setting
Dalam masyarakat yang sedang belajar menuju demokrasi, pers tentu memiliki peran penting. Salah satu fungsi yang penting dari pers adalah fungsi agenda setting. Menyusun agenda berarti memilih dan menyusun sejumlah masalah, pekerjaan dan prioritas dalammasyarakat. Dalam menyusun agenda, Pers tidak bsia bekerja sendiri atau menemukan sendiri agenda itu. Pers harus menyelami dan menangkap berbagai problematika dan gerak sendi kehidupan masyarakat. Segala sesuatu yang ada dalam masyarakat yan gdirasa mendesak dan penting. Maka itu pers harus senantiasa berkomunikasi dengan pimpinan masyarakat, para pakar, dan Pemerintah. Di sinilah peran pers sangat penting dalam membangun masyarakat kebangsaan. Menemukan platform, pemikiran, agenda bersama yang  harus digagas dalam semangat yang positif agar prosesnya tidak berlarut-larut dan menumbuhkan krisis. Beberapa agenda berat misalnya menyangkut pemberantasan korupsi, pemilihan umum, keadilan sosial, persamaan hukum, anti KKN dll.
Pers dalam sistem politik demokrasi akan menjadi pers demokrasi. Karena pers merupakan bagian atau subsistem dari sistem politik. Maka dalam sistem politik liberal, pers juga menjadi liberal. Dalam konteks Indonesia yang menuju iklim demokrasi, pers juga belajar untuk menuju pers demokrasi. Salah satu kunci menuju pers yang demokratis adalah pers yang bebas.hanya pers bebas yang dapat menyajikan informasi secara jujur dan mampu mengontrol bentuk serta penyelenggaraan kekuasaan oleh Pemerintah dan oleh masyarakat.  
Komitmen pers pada demokrasi kini menjadi meluas dan menamakannya pembangunanmasyarakat madani. Pengertian masyarakat madani ini sangat bermacam-macam, namun ada dua hal yang terdapat dalam masyarakat madani :
1.      ruang lingkup kekuasaan tidak sepenuhnya berada dalam lingkungan dan kekuasaan penerintah. Ada ruang lingkup publik yang cukup luas dan berperanan sebagai mitra sekaligus pengawas terhadap penuelenggaraan kekuasaan oleh pemerintah. Ruang lingkup publik itu isi, serta dimensinya beragam dan mencerminkan pencerahan serta kemajuan masyarakat. Ada kegiatan politik, sosial ekonomi  dan kebudayaan.
2.      dalam masyarakat madani tumbuh kehidupan bersama berkeadaban dan hal itu berlaku  pula untuk masyarakat yang majemuk. Pluralisme menjadi ciri masyarakat madani. Seperti halnya represi dari pemerintah ditolak, demikian pula represi dari kelompok masyarakat. Dalam masyarakat madani, perbedaan pendapat subur dan dipacu. Perbedaan pendapat bahkan persaingan kepentingan berjalan tanpa harus membuyarkan komitmen untuk bekerja bagi kepentingan umum dan mendahulukan kepentingan umum. Masyarakat madani dalah masyarakat terbuka, terbuka ke dalam terbuka pula keluar.
 
 Tidak bisa demokrasi hidup dalam masyarakat yang tertutup. Maka dialog manjadi kata kunci bagi demokrasi. Di sinilah letak fungsi dan peranan pers dan media massa, yaitu menyediakan forum bagi berlangsungnya dialog scara terbuka. Baik antar kelompok-kelompok  dalam masyarakat maupun antara masyarakat dan pemerintah.
Dalam bidang politik, komunikasi politik akan terjadi juga melalui pers. Setiap kali ada tukar menukar pendapt dan penilaian , sehingga setiap kali bisa dirumuskan suatu saling pengertian di tingkat yang lebih tinggi dan lebih komprehensif. Dalam hal pendewasaan demokrasi, iklim demokrasi yang disuburkan lewat pers akan mematangkan proses demokrasi itu sendiri.
Membuat agenda di Indonesia tidaklah mudah bagi Pers. Bagaimanapun masih ada mekanisme pembredelan di Indonesia. Maka di indonesia, Pers memiliki wajah sebagai media informasi. Artinya isinya terbatas apa yang masih diperkenankan oleh Penguasa. Apabila isinya dinilai membahayakan stabilitas politik atau stabilitas negara. Penguasa dapat mengambil tindakan-tindakan tertentu yang dapat merugikan operasi Pers. Namun dengan adanya keterbatasanatau hambatan, diharapkan pers Indonesia justru memiliki kreativitas atau pemikiran-pemikiran jenius agar apa yang semestinya menjadi agenda masyarakat bisa disuarakan secara lebih cerdik dan tidak mengundang persoalan campur tangan penguasa. Artinya iklim demokrasi yang timbul dalam pers sendiri tidak lalu dihadapkan dalam posisi berlawanan dengan penyelenggaraan kekuasaan, tapi dengan memperluas infrastruktur dan kultur demokrasi di dalam masyarakat.

By P. Imam Pj

0 komentar:

Posting Komentar

Tulis komentar yang sopan yaa dan yang sifatnya membangun..