Rabu, 18 April 2012 | By: Ramdhan Wijaya Pamungkas

Analisis Ebeg


Baru-baru ini kita mendapati berita menarik tentang diklaimnya Reog Ponorogo oleh Malaysia dan menamainya dengan Barongan. Itu tidak terlepas dari minimnya perhatian pemerintah dan generasi muda kita terhadap aset-aset budaya bangsa. Kondisi demikian bias jadi akan terus berulang dan bukan tidak mungkin kalim serupa akan terjadi pada seni Kuda Lumping. Kuda lumping kini tak lebih hanya sekedar tontonan dan peninggalan budaya yang keberadaannya makin tergerus oleh masuknya budaya-budaya asing. Kuda Lumping adalah seni tari yang dimainkan dengan menaiki kuda tiruan atau kuda bohong ia disebut dalam syair lagu dangdut yang terbuat dari anyaman bambu (kepang). Dalam memainkan seni ini biasanya juga diiringan dngan musik khusus yang sederhana karena hanya permainan rakyat, yaitu dengan gong, kenong, kendang dan slompret, alat musik tradisional yang kini tidak lagi dikenal oleh anak-anak generasi muda kita karena telah tergantikan oleh dram, gitar dan lainnya.
Tidak diketahui secara pasti mengenai asal-usul permainan ini, karena telah disebut oleh banyak daerah sebagai kekayaan budayanya. Hal ini terjadi karena si pencetusnya tidak mematenkan permainan ini sehingga bisa dimainkan oleh siapapun.di Jawa Timur saja seni ini akrab dengan masyarakat dibeberapa daerah, sebut saja Malang, Nganjuk dan Tulungagung, disamping daerah-daerah lainnya. Jika dilihat dari model permainan ini, yang menggunakan kekuatan dan kedigdayaan, besar kemungkinan berasal dari daerah-daerah kerajaan di Jawa.
Panggung rakyat dan perlawanan terhadap penguasa. Pada masa kekuasaan pemerintahan Jawa dijalankan dibawah kerajaan, aspirasi dan ruang bergumul rakyat begitu dibatasi, karena perbedaan klas dan alasan kestabilan kerajaan. Meski dalam kondisi tertekan, rakyat tidaklah mungkin melakukan perlawanan secara langsung terhadap penguasa. Rakyat sadar bahwa untuk melakukan perlawan, tidak cukup hanya dengan bermodalkan cangkul dan parang, namun dibutuhkan kekuatan dan kedigdayaan serta logistic yang cukup. Menyadari hal itu, akhirnya luapan perlawanan yang berupa sindiran diwujudkan dalam bentuk kesenian, yaitu kuda lumping. Sebagai tontonan dengan mengusung nilai-nilai perlawanan, sebenarnya kuda lumping juga dimaksudkan untuk menyajikan tontonan yang murah untuk rakyat. Disebut sebagai tontonan yang murah meriah karena untuk memainkannya tidak perlu menghadirkan peralatan musik yang banyak sebagaimana karawitan. Diplih kuda, karena kuda adalah simbol kekuatan dan kekuasaan para elit bangsawan dan prajurit kerajaan ketika itu yang tidak dimiliki oleh rakyat jelata. Permainan Kuda Lumping dimainkan dengan tanpa mengikuti pakem seni tari yang sudah ada dan berkembang dilingkungan ningrat dan kerajaan. Dari gerakan tarian pemainnya tanpa menggunakan pakem yang sudah mapan sebelumnya menunjukkan bahwa seni ini hadir untuk memberikan perlawanan terhadap kemapanan kerajaan.
Selain sebagai media perlawanan seni Kuda Lumping juga dipakai oleh para ulama sebagai media dakwah, karena kesenian Kuda Lumping merupakan suatu kesenian yang murah dan cukup digemari oleh semua kalangan masyarakat, seperti halnya Sunan Kalijogo yang menyebarkan Islam atau dakwahnya lewat kesenian Wayang Kulit dan Dandang Gulo, beliau dan para ulama jawa juga menyebarkan dakwahnya melalui kesenian-kesenian lain yang salah satunya adalah seni kuda lumping.

Bukti bahwa kesenian ini adalah kesenian yang mempunyai sifat dakwah adalah dapat dilihat dari isi cerita yang ditunjukan oleh karakter para tokoh yang ada dalam tarian Kuda Lumping, tokoh-tokoh itu antara lain para prajurit berkuda, Barongan dan Celengan. Dalam kisahnya para tokoh tersebut masing-masing mempunyai sifat dan karakter yang berbeda, simbul Kuda menggambarkan suatu sifat keperkasaan yang penuh semangat, pantang menyerah, berani dan selalu siap dalam kondisi serta keadaan apapun, simbul kuda disini dibuat dari anyaman bambu, anyaman bambu ini memiliki makna, dalam kehidupan manusia ada kalannya sedih, susah dan senang, seperti halnya dengan anyaman bambu kadang diselipkan keatas kadang diselipkan kebawah, kadang kekanan juga kekiri semua sudah ditakdirkan oleh yang kuasa, tinggal manusia mampu atau tidak menjalani takdir kehidupan yang telah digariskan Nya, Barongan dengan raut muka yang menyeramkan, matanya membelalak bengis dan buas, hidungnya besar, gigi besar bertaring serta gaya gerakan tari yang seolah-olah menggambarkan bahwa dia adalah sosok yang sangat berkuasa dan mempunyai sifat adigang, adigung, adiguno yaitu sifat semaunnya sendiri, tidak kenal sopan santun dan angkuh, simbul Celengan atau Babi hutan dengan gayanya yang sludar-sludur lari kesana kemari dan memakan dengan rakus apa saja yang ada dihadapanya tanpa peduli bahwa makanan itu milik atau hak siapa, yang penting ia kenyang dan merasa puas, seniman kuda lumping mengisyaratkan bahwa orang yang rakus diibaratkan seperti Celeng atau Babi hutan.
Sifat dari para tokoh yang diperankan dalam seni tari kuda lumping merupakan pangilon atau gambaran dari berbagai macam sifat yang ada dalam diri manusia. Para seniman kuda lumping memberikan isyarat kepada manusia bahwa didunia ini ada sisi buruk dan sisi baik, tergantung manusianya tinggal ia memilih sisi yang mana, kalau dia bertindak baik berarti dia memilih semangat kuda untuk dijadikan motifsi dalam hidup, bila sebaliknya berarti ia memlih semangat dua tokoh berikutnya yaitu Barongan dan Celengan atau babi hutan.
Banyak orang yang salah paham dalam memaknai seni Kuda lumping, mereka beranggapan bahwa para pelaku seni kuda lumping adalah pemuja roh hewan seperti roh kuda, anggapan itu adalah salah, simbul kuda disini hanya diambil semangatnya untuk memotifsi hidup, sama halnya dengan seporter sepak bola di Indonesia, di kota Malang misalnya, mereka menganggap bahwa dirinya adalah Singo Edan, seporter bola di Surabaya mereka menamakan dirinya Bajol Ijo, bahkan Negara Indonesia sendiri menggunakan sosok hewan sebagai lambang Negara yaitu seekor burung Garuda, yang kesemuanya itu adalah nama-nama hewan, jadi merupakan hal yang salah bila kesenian Kuda Lumping dianggab kelompok kesenian yang mendewakan hewan.
Sekelompok orang juga beranggapan bahwa kesenian Kuda Lumping dengan dengan kemusyrikan karena identik dengan kesurupan atau kalap, kemenyan, dupa dan bunga bungaan, anggapan bahwa kuda lumping dekat dengan kemusyrikan adalah tidak benar, justru para pelaku seni Kuda Lumping berusaha mengingatkan manusia bahwa di dunia ini ada dua macam alam kehidupan, ada alam kehidupan nyata dan alam kehidupan Gaib hal ini telah dijelaskan dalam Alqur`an surat Anas dan manusia wajib untuk mengimaninya. Fenomena kalap atau kesurupan bisa terjadi dimana saja dan dapat menimpa siapa saja, baik dikalangan arena Kuda Lumping maupun tempat-tempat formal seperti Sekolahan atau Pabrik, hal itu tergantung pada kondisi fisik dan Psikologis individu yang bersangkutan, sedangkan kemenyan, dupa dan bunga-bungaan tidak lebih dari sekedar wewangian yang tidak pernah dilarang dalam Islam bahkan dianjurkan penggunaanya.
Selain para tokoh yang telah disebutkan, dalam kesenian kuda lumping warna juga memiliki makna, warna yang dominan dalam kesenian ini ada tiga, warna merah, hitam dan putih, masing-masing warna tersbut secara filosois juga memiliki makna yang berbeda, warna merah melambangkan kebernian, kewibawaan dan semangat kepahlawanan, warna putih melambangkan kesucian, makna kesucian disini adalah kesucian pikiran dan hati yang akan direfleksikan dalam semua panca indera sehingga menghasilakan suatu tindak-tanduk yang selaras dan dapat dijadikan panutan, warna hitam
Seni Kuda lumping merupakan jenis kesenian rakyat yang sederhana, dalam pementasanya tidak diperlukan suatu koreografi khusus serta perlengkapan peralatan gamelan seperti halnya karawitan, gamelan untuk mengiringi seni kuda lumping cukup sederhana, hanya terdiri dari satu buah kendang, dua buah kenong, dua buah gong dan sebuah selompret, sajak-sajak yang dibawakan dalam mengiringi tarian semuanya berisikan himbauan agar manusia senantiasa melakukan perbuatan baik dan selalu eling ingat pada sang pencipta.
Secara filosofis masing-masing alat musik yang digunakan dalam mengiringi tari kuda lumping juga memiliki makna yang berbeda, kendang berbunyi ndang…ndang…tak…ndlab mempunyai makna yen wis titiwancine ndang-ndango mangkat ngadeb marang pengeran yang mempunyai arti kalau sudah waktunya cepat-cepat bangun menghadap tuhanmu, dalam melakukan ibadah jangan suka ditunda-tunda kenong ……. Slompret ……. Gong ……..

Pesan : ebeg adlh gambaran pembrontakan ktk manusia berada dlm tekanan,ktk terikat dlm aturan2 baku,dan digambarkan dg mendem alias trans.
Artinya ketika rakyat dikekang oleh aturan2 yg dlm hal ini digambarkan oleh pemimpin ebeg, dan ketika sdh tdk kuat lg maka terjadi gejolak, dlm hal ini terjadi trence atawa ebeg mendem.
Pertunjukkan ebeg itu meruupakan gambaran kehidupan manusia sejak lahir sampai dewasa.

Pertunjukkan ebeg itu terdiri dari (tiga) babak antara lain :
Babak Pertama, babak tarian kuda kepang dimana penarinya menggunakan kacamata hitam sepanjang dia menari. Pada babak ini penari ebeg belum trans/mendem. Babak ini merupakan gambaran manusia yang baru lahir dan masih buta dengan kehidupan duniawi. Hal ini digambarkan dengan penari Ebeg yang pake kacamata hitam. Babak ini juga menggambarkan tentang manusia yang suka bermain layaknya anak kecil.
Babak Kedua, Babak yang diwarnai dengan adegan trans/mendem. Pada babak ini pemain ebeg sudah tidak lagi mengenakan kacamata Hitam. Ini merupakan gambaran kehidupan manusia setelah mengetahui isi dunia. Babak ini juga menggambarkan bahwa setelah manusia mengetahui dunia beserta isinya kemudian ternyata manusia itu tidak ingat kepada Tuhan yang menciptakan, dan juga menggambarkan manusia yang menghalalkan cara untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Hal ini terlihat dari adegan ebeg makan bara api, makan pecahan beling, minum air bunga tujuh rupa, mengupas kelapa pake gigi, makan rumput dan lain-lain.
Babak ketiga, babak ini menggambarkan kesadaran manusia yang sudah eling/ingat kepada yang maha kuasa. Pemain ebeg sudah tidak lagi trans/mendem, tapi sudah sadar. Babak ini sebagai gambaran bahwa manusia harus eling/ingat kepada yang maha kuasa, dan manusia seharusnya tidak rakus dengan kehidupan di dunia.Hal ini terlihat dari adanya kumandang lagu eling-eling banyumasan. Ada juga yang menarik bahwa dalam ebeg ada 3 warna dominan (merah,putih dan hitam) menurut literatur yang pernah aku baca punya arti bahwa merah adalah semangat perjuangan katane dulu sebagi bala tentara,hitam merupakan bagian kehidupan kelam dan putih adalah penyeimbangnya....
Dalam ebeg selalu ada yang namane pecut sebagai alat yang berfungsi sebagai kontrol irama penari kapan saatnya untuk mendem dantanda tanda lain. Satu yang juga berperan adalah dukun atau pawang ebeg untuk mengembalikan kesadaran stelah mendem.....
Masyarakat di wilayah Kebumen dan Banyumas mengenalnya sebagai kesenian ebeg. Namun, secara garis besar, tampilan tidak terlalu jauh berbeda. Selalu ada unsur magis dalam tariannya yang atraktif. Dalam sejarahnya, ebeg merupakan tarian sakral yang sering mengiringi upacara keagamaan tertentu. Ada roh halus atau indang yang diundang serta di dalamnya.
Kelompok kesenian Turonggo Laras asal Bumiagung, Kebumen, Jawa Tengah, tak lama lagi akan berpentas. Malam sebelum pertunjukan adalah saatnya bagi ketua rombongan dan penimbul alias pawang melakukan semedi di rumah masing-masing. Malam itu, selain memanggil indang atau roh halus, mereka juga minta izin serta perlindungan agar pertunjukan berjalan lancar.
Tak cuma itu. Pada hari pertunjukkan, Jumadi harus menyiapkan komaran alias sesaji komplet, yang variasinya mencapai lebih dari 20 macam. Baik berupa makanan matang, mentah, hewan, dedaunan, maupun benda-benda kesukaan indang. Sesaji ini untuk persembahan kepada indang, yang disantap melalui wayang atau anggota kuda lumping saat kesurupan.
Sesaji merupakan bagian dari ritual utama dalam acara penyembuhan wayang yang kerasukan indang. Konon, bila kurang komplet, sang indang akan murka. Bila demikian, maka wayang susah disembuhkan bahkan bisa mengamuk.
Sebelum pertunjukan dimulai, Suparyo membuat pagar gaib, berbentuk segi empat dengan menanam benda yang sebelumnya diberi mantera. Masing-masing sudut memiliki peran sebagai penjaga, bersiaga mencegah mereka yang ingin menjahili pertunjukan. Sedangkan yang di tengah berfungsi memanggil indang.
Meski demikian Suparyo pernah dikerjai orang. Sesaat pertunjukan, indang gagal datang. Akibatnya saat acara janturan, wayang tidak bisa mabok atau kesurupan. Setiap kelompok kesenian kuda lumping biasanya memiliki indang masing-masing. Dipelihara di sebuah tempat yang disebut panembahan.
Untuk menjaga indang tetap betah, setiap malam Selasa dan Jumat Kliwon, sesaji makanan rutin disediakan oleh ketua rombongan dan sang penimbul. Karena itu, meski rombongannya ditanggap di luar daerah, indangnya tetap dipanggil dari Panembahan Rantamsari di Desa Bumiagung. Kalau pun ada indang yang nimbrung, itu hanya sebatas tamu yang kebetulan sama-sama menyukai kesenian ebeg. Bila ada indang yang bandel, seperti tidak mau pergi padahal pertunjukan hampir usai, penimbul memiliki hak prerogatif untuk mengusir indang tamu.
Pertunjukan semakin seru jika ada penonton turut kerasukan roh atau indang ini. Konon indang yang diperlukan untuk menyemarakkan pertunjukan, bisa mencapai 40 lebih. Para indang ini dibawa dari panembahan asalnya ke lokasi pertunjukan, termasuk ke luar kota, dengan dimasukkan ke dalam barongan, kendang, atau ke dalam saron.
Percaya tidak percaya, unsur magis dalam pertunjukan kesenian kuda lumping, atau yang dikenal masyarakat Banyumas sebagai ebeg ini memang menjadi bagian penting pertunjukan. Sepinya penanggap kesenian ini sekarang, tidak membuat hubungan sang penimbul dan para indang terganggu. Mereka yakin, dimanapun kesenian ini hadir, akan membius para penontonnya, untuk menyaksikan hingga sang indang meninggalkan arena pertunjukan

0 komentar:

Posting Komentar

Tulis komentar yang sopan yaa dan yang sifatnya membangun..